This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 25 Maret 2015

Sebatas Impian



Berlalu, hanya dibawa berlalu.
sesungguhnya arti cinta pun ku tak tahu,
nanti, mungkin nanti, ada waktu,
diwaktu senja berganti kita bertemu,

Riwayatku memang tidak ada cerita,
himpunan badan tak ada wibawa,
lagu ku tak ada arti dan makna,
kau pada ku hanya kebohongan belaka,

Saat kopi hitam sesendok pun tak ada gula,
pahit kelat, ingin kumuntahkan semua,
saat tuhan punya rasa bersalah,
aku dan kau pasti bisa bersama

Aku hanya bisa mengacu pada nasib,
aku bukan apa apa hanya sekumpulan aib,
aku hanya ingin berikan yang terbaik,
selalu mengawasi mata ku tak akan berkedip,

Aku berdosa aku pendusta,
tapi saat kau disini, yaa disini, aku bisa jadi pendeta,
Haha, kau berikan kisah cinta,
ku tuntun kau kebajikan soal dunia,

By : Hary Tobing
Sumber : Click

Kau Aku dan Hati



Aku disini bukan untuk menganggu waktumu, Namaku Echa, aku hanya ingin berbagi cerita kepadamu, tentang apa yang telah ku rasakan saat itu, saat saat terakhir aku bergelar siswi SMP


Sinar mentari pagi minggu itu menerobos jendela kamarku dan jatuh tepat di atas kelopak mataku. Aku terbangun, meski setengah sadar, aku berdiri untuk membuka tirai jendela, dan membiarkan cahaya matahari itu sepenuhnya masuk ke dalam kamar mungil bernuansa girly ku ini. Aku melirik sebuah foto yang tergantung rapi di samping jendela kamarku. Di dalam foto itu, terdapat seorang remaja cewek dan seorang lagi remaja cowok. Tampak kegembiraan dan kebahagiaaan saat itu, membuat mereka lupa akan masalah-masalah yang ada. Ya! itu aku, dan cowok itu… Huft! Dia sahabatku. Alargiantyo Marco namanya. Aku tumbuh bersamanya, mengawali hari bersamanya. Kami selalu bersama. Tak terhitung suka dan duka yang telah kami lalui. Meski ada pertengkaran kecil yang seringkali terjadi akibat perselisihpahaman, kami selalu dapat melerainya dengan tawa dan candaan. Dia lucu dan suka melawak. Ia tak pernah gagal membuat gelak tawaku muncul. Dia selalu menasihati saat aku salah dan mensupport apa yang aku ingin dan aku impi-impikan. Dia ada dan selalu ada.

Ah, sudahlah. Aku berjalan meninggalkan foto itu tergantung. Balkon! Disanalah aku mencurahkan segala isi hatiku. Tentang apapun.
“Krieekk” engsel pintu kaca kecil berbunyi. Ku tumpukan siku ku ke pagar balkon, sambil memandang padang rumput luas di hadapanku. Mulutku mulai terbuka “Kuatkan aku menghadapi hari esok, Tuhan! Hari yang akan membuat beribu butiran air mataku jatuh. Kuatkan aku Tuhan.”
Kau pasti penasaran tentang hari yang ku takutkan? Sebenarnya itu tak menakutkan, namun mungkin aku terlalu lebay berkata bahwa hari itu menakutkan. Hari Perpisahan.


Hari Senin. Aku siap, aku siap untuk melepasnya. Aku pasti siap.
Aku berjalan ke dalam Aula sekolah. Ternyata sudah banyak juga yang datang. Hampir semua wajah mereka murung, ntah apa yang ada di pikiran mereka kala itu. Mataku mencari seseorang, nah itu dia!
“Marcooo.” Teriakku lalu berlari kearahnya.
“Sudah siap untuk hari ini Cha?” Tanya nya tersenyum.
“A..Ak..ku.. siap.” jawabku ragu, senyuman ku memudar.
“Tak usah sedih, setiap pertemuan pasti ada perpisahan.” ia merangkulku masih terpasang senyum menghiasi wajahnya. Aku kembali menarik sudut bibirku, berusaha tersenyum.
“Aku mengerti.” balasku.
Ia menarik tanganku untuk duduk. Acara akan dimulai, seperti ada berjuta kupu-kupu memenuhi perutku saat itu. Aku merinding, jantungku berdegup kencang. Aku menatap mata Marco. Dia mengangguk pelan, memberiku kepastian. Aku tersenyum. Sepanjang acara berlangsung, Marco merangkulku dan menghiburku.

Tibalah penghujung acara, kami semua berdiri, sudah ada yang menangis tersedu. Semua murid murid SMP kelas 9 menyanyikan lagu Hymne Guru. Disusul penampilan dari 2 orang siswi. Mereka menyanyikan lagu Peterpan berjudul Semua Tentang Kita. Air mataku mengalir saat itu. Aku kembali menatap mata Marco dalam dalam. Airmataku tak berhenti keluar, seperti tiada rem. Marco membalas tatapan mataku.
“Sudahlah jangan menangis, tak ada gunanya kau menangis.” katanya.
“Aku tak ingin kehilangan seorang sahabat sepertimu.” aku menunduk.
Ia menaikkan wajahku “Dengarkan aku Cha. Aku ada untukmu, untuk menjagamu. Aku ada untukmu, untuk melindungimu. Kau tak akan kehilanganku Cha. Aku ada di dalam hatimu, aku selalu ada disana. Aku menjagamu dari sana. Zaman sudah canggih, kau bisa menghubungiku nanti. Pasti, aku pasti kembali kesini, ke hadapanmu Cha. Aku ingatkan, kau harus terus bermimpi untuk meraih cita citamu walau aku tak ada di sampingmu saat itu. Aku disana juga akan berusaha mraih cita-citaku. Kau bisa, aku bisa, kita bisa! Satu lagi, Jangan pernah terlintas di pikiranmu, bahwa aku akan melupakanmu dan mendapatkan sahabat yang lebih baik darimu. Ku yakinkan, tak ada! Ingat, kita 8 tahun bersama, kau tahu apa kelemahanku, kelebihanku, begitu juga sebaliknya. Dari kecil kita sama, mengawali hari bersama. Kau adalah sahabat terbaik yang pernah ada.”
Aku semakin menangis, ia begitu tahu, dan mengerti isi hati terdalamku, dan apa yang aku takutkan jika kami jauh. Marco memelukku erat, aku tak mau lepas, aku ingin selalu dipelukannya.
“Ini hari terakhir aku disini, nanti malam aku sudah berangkat ke Jerman.” Katanya lagi.
“Secepat itu kah, Mar?” tanyaku memastikan.
“Maafkan aku Cha, aku tak tahu tentang ini.” Jelasnya iba.
“Aku mengerti Mar.”
“Terimakasih Cha.”
“Jaga dirimu baik-baik di sana. Lanjutkan apa yang kau impikan. Raih citamu, aku ada di dalam hatimu, dan akan selalu tersimpan disana.”
“Jaga diri juga disini Cha, walau aku tak ada, kau harus rajin. Aku support kau dari sana. Aku juga tersimpan di dalam hatimu.”
“Ini, simpan baik baik, jika kau rindu aku, kau cukup memutar video ini, aku ada disana.” Aku menyerahkan setumpuk kaset video. Itu sudah jauh jauh hari kusiapkan.
“Terimakasih, kau juga harus menyimpan ini, putar saja kuncinya.” katanya sambil menyerahkan pula sebuah kotak berwarna pink muda. Aku menerimanya dengan senang hati.

Aku berjalan keluar dengan langkah pasti. Pasti aku tidak akan melupakannya. Pasti aku akan terus bermimpi dan meraih cita meski tak ada dia di sampingku. Pasti aku akan bertemunya lagi suatu saat nanti, ketika Aku dan Marco sudah menjadi apa yang kami inginkan.

Kau Marco, akan selalu ada dan tersimpan di dalam hati ini.
Aku Echa, akan selalu ada dan tersimpan di dalam hati nya

Sumber : Click

Ajarin Aku Menjadi Muslimah



Untuk kesekian kalinya surat-surat ini kutulis di atas kertas putih. Kosong. Ya, kertas itu kosong setelah beberapa tahun silam kucoret-coret dengan tinta kepahitan. Yang kusebut kenangan terindah, namun kini semua itu menjelma jadi tusukan duri yang hampir rapuh. Hingga kubiarkan saja rapuh, agar ia segera hilang dari ingatanku. Ku genggam jiwa yang kusebut CINTA, agar ia tetap menjadi penghuni di hatiku yang renta ini. Ku genggam senyuman insan yang kumiliki agar ia memperindah lembah hati yang sunyi ini menjadi seberkas bianglala. Sangkaku salah. Genggaman semakin erat CINTA itu semakin pudar, hilang. Senyum itu semakin hambar aku sruput bak kopi hitam yang mendingin sedari dulu.

Aku lepas!
Aku hilang kendali!
Aku jatuh! Sakit!
Aku berteriak seperti burung cangak yang meneriakkan suaranya di malam yang pekat.
Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan, atau jajanannya.

Sesekali ku panggil ibu!
Sesekali ku gapai ibu!
Sesekali ku bertelepati dengan ibu!
Namun ibu tetaplah jauh dari hatiku. Tetaplah di sudut kota kelahiranku, dan aku. Aku di sudut kota yang ku sebut lembah sunyi. Lembah sunyi yang menghilangkan CINTA dari hatiku. Lembah sunyi yang menyudutkanku terus menerus semakin dalam, dalam, dan dalam. Tanpa penerangan, tanpa lentera. Namun aku masih memgang sebuah tongkat yang diturunkan dari syurga, Ibu. Tongkat itu adalah ibu.

Di dalam lembah sunyi, ku terus berjalan menyusuri lorong waktu. Yang ku tahu waktu itu seperti kereta yang hanya berhenti di stasiun saja. Setelah ia pergi, maka ia tidak akan peduli dengan penumpangnya yang ketinggalan. Aku tidak mau! Aku tidak mau ketinggalan waktu itu. Aku bangkit dan berjalan di atas kerikil-kerikil tajam yang terinjak kakiku. Kemana? Untuk apa? dan pada siapa aku akan melabuhkan diriku ini. Allah. Allah yang akan menampungku, bebanku, tangisku, juga semua yang ku angkut bersama jiwa yang tak sepadan denganNYA.

Terus dan terus ku melaju. Akhirnya kutemukan setitik cahaya pengganti hilangnya Cintaku. Persahabatan. Persahabatan yang kurasakan sungguh ini baru pertama kali. Kuraba ia sangat membingungkanku. Bagaimana tidak?! Aku yang ingin berbagi kasih bersamanya, namun mereka menghadirkan sekelumit CINTA. Antara segitiga yang ku tahu tidak akan menemukan kesejajaran. Persahabatan yang menyita pikirku tidak sejalan dengan nuraniku. Aku telah dihadapkan dengan persimpangan. Arah mana yang akan aku tapaki? Atau aku akan berputar arah yang telah jauh aku tinggalkan?
“TIDAK!!” teriaku dalam hati. Aku tidak akan berputar arah lagi. Aku akan terus berjalan, berjalan dan berjalan mengikuti lorong waktu itu. Aku yakin lorong waktu itu belumlah sampai pada tujuanku. Benar. Itu belum sampai.

Ah, aku tidak peduli lagi dengan persahabatan yang menyita waktuku itu. Yang menghadirkan persimpangan di hadapku. Kuteruskan saja jalan ku, ku lanjutkan saja menjadi masinis yang mengemudikan kereta ku. Lama, ya terlalu lama aku mengemudikannya. Terkadang aku lelah, terkadang aku jenuh, terkadang aku sepi. Tapi, tunggu!
Bukankah di depan itu ada setitik cahaya yang bisa kutangkap dengan mataku. Senyumku renyah saat kutemui itu memang benar-benar cahaya. Cahaya yang awalnya memberi kehangatan bagiku. Cahaya yang awalnya memberi penerangan bagi jalanku. Cahaya yang kurasakan bahagia bila ia mengecup hatiku. Cahaya yang mencuatkan cinta untukku. Bahagia bukan? YA, aku bahagia atas hadirnya cahaya itu. Cahaya yang ku sebut Cinta. CINTA? lagi-lagi cinta. Tidak.. ini bukan cinta. Ini adalah sepercik dari kilatan cahaya sejati yang aku rasakan sesaat saja.

Seiring waktu yang berputar namun pasti. Aku merasakan lagi kehambaran, keredupan atas cahaya itu. Semakin hari semakin gelap, pekat. Cahaya itu hilang, melayang tiada kudapatkan lagi. Kumencari-cari sampai ke sela tumpukan jerami, namun tiada kutemui. Kutanyai pada malam-malam yang berbintang, tetap saja ia membisu. Atau cahaya itu menyinggahi hati yang lain, setelah tahu hatiku ini terasa hambar, pahit.

Aku terduduk lesu menyaksikan cahaya itu menerangi hati yang lain. Hingga mata ini menghadiahkan hujan yang tiada reda untuk kuusap sekilas saja. Ranting yang mulai mencabangkan akar-akar cinta, kini merapuh lagi. Bunga yang ingin terkecup oleh wangi cahaya cinta, akhirnya layu juga. Hingga ku terbangun dari mimpiku, dan menyusuri lorong waktu kembali. Sekelumit cahaya-cahaya cinta itu hanyalah hilirnya saja. Biar kubawa sepenuh hatiku yang hancur ini berjalan menemui hulu sang pencipta Cinta. Karena aku tahu cinta suci itu akan bertumpu pada ALLAH.

Sumber : Click

PENGORBANANKU

Malam ini bulan bersinar terang menampakkan cahaya nya ke berbagai penjuru dunia. Namun, terangnya bulan itu kini tak seterang keadaanku. Aku hanya bisa terduduk di atas rerumputan dan memandangi keindahan ini. Aku tak bisa apa-apa. Aku melihat mobil berhenti di dekat taman yang sedang kududuki ini, terlihat satu keluarga yang sungguh harmonis. Terkadang, aku iri pada itu semua. Aku kecewa pada Tuhan. Mengapa Tuhan memberiku kehidupan seperti ini? Namun, aku tak boleh berputus asa. Aku harus membuat semua orang yang meremehkan aku, menjadi bangga padaku..

Rintikan hujan membuatku terbangun pagi ini. Pukul 04.30. Aku segera bangun dan mandi. Kubuka tudung saji di meja makan, terlihat kosong. Kuputuskan membuat nasi goreng untuk sarapan pagi keluargaku. Sarapan pagiku telah selesai. Ku dengar ada seorang membuka pintu kamarnya, mungkin itu ibu. Seperti biasa, aku melaksanakan pekerjaan rumahku pagi ini. Seperti menyapu dan menyiram tanaman. Saat aku mulai menyiramkan air segar ke tanaman-tanamanku ini, ibu berteriak memanggilku. Entah apa yang terjadi..

Pagi ini, aku berangkat ke sekolah agak kesiangan. Sekolahku terletak sekitar 350 meter dari rumah. Namun, ibu membiarkanku berangkat ke sekolah dengan jalan kaki sendiri. Mungkin ini karena ibu sedang jengkel padaku karena nasi goreng yang kumasak tadi terasa sangat asin bagi ibu, tapi menurutku rasanya seperti biasa. Setapak demi setapak kulalui. “Awali hari dengan senyuman” itu adalah salah satu kalimat motivasi ku untuk lebih bersemangat mengawali hari.

Hari ini diadakan seleksi untuk lomba Sains tingkat nasional. Aku ingin sekali mengikuti itu, siapa tau aku dapat membanggakan orang-orang di sekitar ku nantinya. Tak kuduga, seleksi kali ini aku memperoleh nilai tertinggi di antara lainnya. Tanpa basa-basi, Bu Asih, guru Sains di sekolahku, langsung menyuruhku untuk maju ke lomba Sains tingkat nasional itu. Dan yang mengejutkanku, lomba tersebut tinggal menghitung hari. Tuhan, bantu aku…

Degup jantungku terasa lebih cepat dibanding biasanya. Aku telah berada di arena lomba, tanpa didampingi satu pun anggota keluargaku. 5 menit lagi, acara ini akan dimulai. Soal-soal Sains sudah di depan mata. “Niat, Usaha dan Berdoa” juga kalimat yang membuatku lebih bersemangat untuk mengerjakan ini. Bismillah. 10 menit, 30 menit, 1 jam, akhirnya aku selesai juga. Kukira, soal ini termasuk mudah, untuk siswa yang belajar tentunya. Waktu sudah selesai, pengawas sudah mengambil lembar jawabku. Aku hanya ingin mereka bangga, Tuhan..

Terakhir, saatnya pengumuman siapa pemenang lomba Sains tingkat nasional ini. Gelisah, gugup, khawatir, semua rasa berbaur menjadi satu. Juara 3, Juara 2, semua sudah dipanggil. Aku? Oh Tuhan, aku kalah.
“Dan yang berhasil menjadi juara 1 adalaahh, Hanifa Rasyida…”
Benarkah? Benarkah itu namaku? Dipanggil ke atas panggung menjadi juara 1? Terimakasih Tuhan, Kau mendengar doaku.. Aku segera melangkah menaiki tangga untuk naik ke atas panggung yang sudah disiapkan. Kuterima medali, sertifikat tanda kemenanganku, dan sejumlah uang untuk uang saku. Sayangnya, ayah, ibu, serta kembaranku Ranifa Rasyida tak berada bersamaku disini. Menyaksikan suatu kemenangan salah satu anggota keluarganya. Mungkin ini mustahil..

Sampai di rumah, kuceritakan semuanya pada keluargaku. Namun, tetap saja, mereka tidak sedikitpun bangga dan peduli padaku. Dia selalu mendahulukan kepentingan kembaranku daripada aku. Tetapi kali ini semburat wajah ibuku terlihat sangat pucat dan dingin. Apa yang terjadi pada ibuku?
“Apakah ibu tidak apa-apa? Muka ibu terlihat sangat pucat, bu..” tanyaku sangat peduli pada ibuku ini.
“Ah sudahlah. Tidak usah mencari muka pada ibu! Ibu juga tidak apa-apa!..” jawab Rani, kembaranku dengan ketusnya.
“Pergilah, urus hidupmu! Ibu tak perlu bantuanmu! Pergi!”
DEG!
Jantungku terasa berhenti sesaat. Dunia berhenti berputar. Otakku tak mampu berjalan. Mataku tak dapat membendung semua air mata yang ingin jatuh ke pipiku. Apakah ibu sekejam itu padaku? Apakah ibu sebenci itu padaku? Tak terasa tubuhku sudah berlari menjauhi mereka. Tak dapat lagi aku menyembunyikan rasa sakit hatiku. Aku menjauh, jauh, dan sangatlah jauh. Hingga aku merasa tak kuat lagi menahan siksa hidupku ini. Lebih baik aku menghindar dari Ibu dan Rani daripada harus membuat amarah mereka meninggi setiap hari karena aku.

Ku putuskan untuk menginap di rumah bibiku. Terletak sangat jauh dari rumah ibu. Ibu sangatlah berbanding terbalik dengan bibi. Ibu yang amat sangat kejam, selalu memarahiku, dan selalu menyiksaku dengan kata-kata yang tak seharusnya diucapkan oleh ibu kepada sang anak. Sedangkan bibi, beliau sangatlah baik, perhatian, menyemangatiku untuk berprestasi lebih tinggi lagi.

2 bulan berlalu begitu cepat, tanpa ibu dan Rani. Aku ingin menemui mereka, aku sangat rindu dengan mereka. Mungkin, keputusanku ini terlihat bodoh. Tapi, apa salahnya menemui anggota keluargaku sendiri yang amat aku sayangi. Dengan menaiki sepeda yang dibelikan bibiku, aku segera pergi ke rumah ibu.
Sampai disana. Terdengar tangisan Rani yang meraung-raung. Aku segera masuk dan melihat semuanya. Tampak ibu yang tergeletak lemas di kasurnya serta Rani yang duduk diujung kasur. Wajah ibu tampak sangat pucat. Entah penyakit apa yang sebenarnya diderita ibu. Ibu dan Rani memang tidak terbuka denganku. Segera ku menelepon bibi untuk menyuruhnya memanggil ambulan.

Di rumah sakit, aku sungguh merasa khawatir dengan keadaan ibu. Rani yang sangat benci padaku tak mau berkata apa-apa tentang ibu padaku. Suasana hening membuat isakan tangisku terdengar samar-samar. Tiba-tiba, dokter keluar dari ruangan ibu. Menyuruhku untuk mengikutinya. Tak tau alasan apa dokter itu menyuruhku, bukan Rani.
Sekata demi sekata, ku dengar dengan jelas dari mulut dokter muda di hadapanku ini. Tak terasa sudah peluhku menetes deras. Saat ini, ibu sangat membutuhkanku. Demi ibu, orang yang sangatlah berjasa bagiku, aku akan rela berkorban apapun demi ibu. Aku hanya ingin ibu bahagia, walaupun tanpa ada aku di sampingnya.

Embun pagi sudah menyambut. Kicauan burung mungil terdengar jelas dari atas ranting pohon. Ibu sudah pulih, sudah mampu tertawa bercanda dengan Rani. Aku bahagia atas itu. Aku.. Hanya bisa tertutup kain putih. Masuk ke dalam ruangan yang di atasnya terdapat tulisan ‘Kamar Jenazah’. Kini, aku tak mampu lagi menemui ibu, tak mampu melihat senyum manis ibu walaupun alasannya bukan aku. Aku mendonorkan ginjal dan hati ku untuk ibu, sang pelita kegelapanku. Aku hanya bisa tersenyum, dalam dunia berlainan dengan Ibu dan Rani. ‘Aku ada karena ibu, aku tiada untuk ibu..’

“Terima kasih Tuhan, telah membuat ibuku dapat tersenyum kembali. Tanpa ada pengganggu di sampingnya. Buatlah Rani menjadi anak yang baik, Tuhan. Walaupun ibu tak peduli dengan prestasiku, tapi paling tidak, ibu bisa tersenyum bahagia karena Rani. Aku bisa tersenyum melihat mereka tertawa bahagia, walaupun bukan karena aku..”

Sumber : CLICK

Selasa, 24 Maret 2015

Kaitan Manusia dan Kebudayaan

Kaitan Manusia dan Kebudayaan

 

Hubungan manusia dan kebudayaan
Manusia dan kebudayaan merupakan dua hal yang sangat erat berkaitan satu sama lain. Manusia di alam dunia inimemegang peranan yang unik, dan dapat dipandang dari berbagai segi. Dalam ilmu sosial manusia merupakan makhluk yang ingin memperoleh keuntungan atau selalu memperhitungkan setiap kegiatan sering disebut homo economicus (ilmu ekonomi). Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri (sosialofi), Makhluk yang selalu ingin mempunyai kekuasaan (politik), makhluk yan g berbudaya dan lain sebagainya.

  • Contoh hubungan manusia dan kebudayaan
Secara sederhana hubungan antara manusia dan kebudayaan adalah : manusia sebagai perilaku kebudayaan, dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia. Tetapi apakah sesederhana itu hubungan keduanya ?
   Dalani sosiologi manusia dan kebudayaan dinilai sebagai dwitunggal, maksudnya bahwa walaupun keduanya berbeda tetapi keduanya merupakan satu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan, clan setclah kebudayaan itu tercipta maka kebudayaan mengatur hidup manusia agar sesuai dcngannya. Tampak baliwa keduanya akhimya merupakan satu kesatuan. Contoh sederhana yang dapat kita  lihat adalah hubungan antara manusia dengan peraturan - peraturan
   kemasyarakatan. Pada saat awalnya peraturan itu dibuat oleh manusia, setelah peraturan itu jadi maka manusia yang membuatnya hams patuh kepada peraturan yang dibuatnya sendiri itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan, karena kebudayaan itu merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri. Apa yang tercakup dalam satu kebudayaan tidak akan jauh menyimpang dari kemauan manusia yang membuatnya.Apabila manusia melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia, dia akan menjadi terasing atau tealinasi (Berger, dalam terjemahan M.Sastrapratedja, 1991; hal : xv)
Manusia dan kebudayaan, atau manusia dan masyarakat, oleh karena itu mempunyai hubungan keterkaitan yang erat satu sama lain. Pada kondisi sekarang ini kita tidak dapat lagi membedakan mana yang lebih awal muncul manusia atau kebudayaan. Analisa terhadap keberadaan keduanya hams menyertakan pembatasan masalah dan waktu agar penganalisaan dapat dilakukan dengan lebih cermat.