Malam ini bulan bersinar terang menampakkan cahaya nya ke
berbagai penjuru dunia. Namun, terangnya bulan itu kini tak seterang keadaanku.
Aku hanya bisa terduduk di atas rerumputan dan memandangi keindahan ini. Aku
tak bisa apa-apa. Aku melihat mobil berhenti di dekat taman yang sedang
kududuki ini, terlihat satu keluarga yang sungguh harmonis. Terkadang, aku iri
pada itu semua. Aku kecewa pada Tuhan. Mengapa Tuhan memberiku kehidupan
seperti ini? Namun, aku tak boleh berputus asa. Aku harus membuat semua orang
yang meremehkan aku, menjadi bangga padaku..
Rintikan hujan membuatku terbangun pagi ini. Pukul 04.30. Aku
segera bangun dan mandi. Kubuka tudung saji di meja makan, terlihat kosong.
Kuputuskan membuat nasi goreng untuk sarapan pagi keluargaku. Sarapan pagiku
telah selesai. Ku dengar ada seorang membuka pintu kamarnya, mungkin itu ibu.
Seperti biasa, aku melaksanakan pekerjaan rumahku pagi ini. Seperti menyapu dan
menyiram tanaman. Saat aku mulai menyiramkan air segar ke tanaman-tanamanku
ini, ibu berteriak memanggilku. Entah apa yang terjadi..
Pagi ini, aku berangkat ke sekolah agak kesiangan. Sekolahku
terletak sekitar 350 meter dari rumah. Namun, ibu membiarkanku berangkat ke
sekolah dengan jalan kaki sendiri. Mungkin ini karena ibu sedang jengkel padaku
karena nasi goreng yang kumasak tadi terasa sangat asin bagi ibu, tapi
menurutku rasanya seperti biasa. Setapak demi setapak kulalui. “Awali hari
dengan senyuman” itu adalah salah satu kalimat motivasi ku untuk lebih
bersemangat mengawali hari.
Hari ini diadakan seleksi untuk lomba Sains tingkat nasional.
Aku ingin sekali mengikuti itu, siapa tau aku dapat membanggakan orang-orang di
sekitar ku nantinya. Tak kuduga, seleksi kali ini aku memperoleh nilai
tertinggi di antara lainnya. Tanpa basa-basi, Bu Asih, guru Sains di sekolahku,
langsung menyuruhku untuk maju ke lomba Sains tingkat nasional itu. Dan yang
mengejutkanku, lomba tersebut tinggal menghitung hari. Tuhan, bantu aku…
Degup jantungku terasa lebih cepat dibanding biasanya. Aku
telah berada di arena lomba, tanpa didampingi satu pun anggota keluargaku. 5
menit lagi, acara ini akan dimulai. Soal-soal Sains sudah di depan mata. “Niat,
Usaha dan Berdoa” juga kalimat yang membuatku lebih bersemangat untuk
mengerjakan ini. Bismillah. 10 menit, 30 menit, 1 jam, akhirnya aku selesai
juga. Kukira, soal ini termasuk mudah, untuk siswa yang belajar tentunya. Waktu
sudah selesai, pengawas sudah mengambil lembar jawabku. Aku hanya ingin mereka
bangga, Tuhan..
Terakhir, saatnya pengumuman siapa pemenang lomba Sains
tingkat nasional ini. Gelisah, gugup, khawatir, semua rasa berbaur menjadi
satu. Juara 3, Juara 2, semua sudah dipanggil. Aku? Oh Tuhan, aku kalah.
“Dan yang berhasil menjadi juara 1 adalaahh, Hanifa Rasyida…”
Benarkah? Benarkah itu namaku? Dipanggil ke atas panggung
menjadi juara 1? Terimakasih Tuhan, Kau mendengar doaku.. Aku segera melangkah
menaiki tangga untuk naik ke atas panggung yang sudah disiapkan. Kuterima
medali, sertifikat tanda kemenanganku, dan sejumlah uang untuk uang saku.
Sayangnya, ayah, ibu, serta kembaranku Ranifa Rasyida tak berada bersamaku
disini. Menyaksikan suatu kemenangan salah satu anggota keluarganya. Mungkin
ini mustahil..
Sampai di rumah, kuceritakan semuanya pada keluargaku. Namun,
tetap saja, mereka tidak sedikitpun bangga dan peduli padaku. Dia selalu
mendahulukan kepentingan kembaranku daripada aku. Tetapi kali ini semburat
wajah ibuku terlihat sangat pucat dan dingin. Apa yang terjadi pada ibuku?
“Apakah ibu tidak apa-apa? Muka ibu terlihat sangat pucat,
bu..” tanyaku sangat peduli pada ibuku ini.
“Ah sudahlah. Tidak usah mencari muka pada ibu! Ibu juga
tidak apa-apa!..” jawab Rani, kembaranku dengan ketusnya.
“Pergilah, urus hidupmu! Ibu tak perlu bantuanmu! Pergi!”
DEG!
Jantungku terasa berhenti sesaat. Dunia berhenti berputar.
Otakku tak mampu berjalan. Mataku tak dapat membendung semua air mata yang
ingin jatuh ke pipiku. Apakah ibu sekejam itu padaku? Apakah ibu sebenci itu
padaku? Tak terasa tubuhku sudah berlari menjauhi mereka. Tak dapat lagi aku
menyembunyikan rasa sakit hatiku. Aku menjauh, jauh, dan sangatlah jauh. Hingga
aku merasa tak kuat lagi menahan siksa hidupku ini. Lebih baik aku menghindar dari
Ibu dan Rani daripada harus membuat amarah mereka meninggi setiap hari karena
aku.
Ku putuskan untuk menginap di rumah bibiku. Terletak sangat
jauh dari rumah ibu. Ibu sangatlah berbanding terbalik dengan bibi. Ibu yang
amat sangat kejam, selalu memarahiku, dan selalu menyiksaku dengan kata-kata
yang tak seharusnya diucapkan oleh ibu kepada sang anak. Sedangkan bibi, beliau
sangatlah baik, perhatian, menyemangatiku untuk berprestasi lebih tinggi lagi.
2 bulan berlalu begitu cepat, tanpa ibu dan Rani. Aku ingin
menemui mereka, aku sangat rindu dengan mereka. Mungkin, keputusanku ini
terlihat bodoh. Tapi, apa salahnya menemui anggota keluargaku sendiri yang amat
aku sayangi. Dengan menaiki sepeda yang dibelikan bibiku, aku segera pergi ke
rumah ibu.
Sampai disana. Terdengar tangisan Rani yang meraung-raung.
Aku segera masuk dan melihat semuanya. Tampak ibu yang tergeletak lemas di
kasurnya serta Rani yang duduk diujung kasur. Wajah ibu tampak sangat pucat.
Entah penyakit apa yang sebenarnya diderita ibu. Ibu dan Rani memang tidak
terbuka denganku. Segera ku menelepon bibi untuk menyuruhnya memanggil ambulan.
Di rumah sakit, aku sungguh merasa khawatir dengan keadaan
ibu. Rani yang sangat benci padaku tak mau berkata apa-apa tentang ibu padaku.
Suasana hening membuat isakan tangisku terdengar samar-samar. Tiba-tiba, dokter
keluar dari ruangan ibu. Menyuruhku untuk mengikutinya. Tak tau alasan apa
dokter itu menyuruhku, bukan Rani.
Sekata demi sekata, ku dengar dengan jelas dari mulut dokter
muda di hadapanku ini. Tak terasa sudah peluhku menetes deras. Saat ini, ibu
sangat membutuhkanku. Demi ibu, orang yang sangatlah berjasa bagiku, aku akan
rela berkorban apapun demi ibu. Aku hanya ingin ibu bahagia, walaupun tanpa ada
aku di sampingnya.
Embun pagi sudah menyambut. Kicauan burung mungil terdengar
jelas dari atas ranting pohon. Ibu sudah pulih, sudah mampu tertawa bercanda
dengan Rani. Aku bahagia atas itu. Aku.. Hanya bisa tertutup kain putih. Masuk
ke dalam ruangan yang di atasnya terdapat tulisan ‘Kamar Jenazah’. Kini, aku
tak mampu lagi menemui ibu, tak mampu melihat senyum manis ibu walaupun
alasannya bukan aku. Aku mendonorkan ginjal dan hati ku untuk ibu, sang pelita
kegelapanku. Aku hanya bisa tersenyum, dalam dunia berlainan dengan Ibu dan
Rani. ‘Aku ada karena ibu, aku tiada untuk ibu..’
“Terima kasih Tuhan, telah membuat ibuku dapat tersenyum
kembali. Tanpa ada pengganggu di sampingnya. Buatlah Rani menjadi anak yang
baik, Tuhan. Walaupun ibu tak peduli dengan prestasiku, tapi paling tidak, ibu
bisa tersenyum bahagia karena Rani. Aku bisa tersenyum melihat mereka tertawa
bahagia, walaupun bukan karena aku..”
Sumber : CLICK
Sumber : CLICK
0 komentar:
Posting Komentar