Pengantar
Teori integrasi internasional dianalogikan sebagai satu payung yang memayungi berbagai pendekatan dan metode penerapan –yaitu federalisme, pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme, dan regionalisme. Meskipun pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini, tetapi hal ini rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam pandangan state-sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi integrasi memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana ia berubah dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara.
Teori integrasi internasional dianalogikan sebagai satu payung yang memayungi berbagai pendekatan dan metode penerapan –yaitu federalisme, pluralisme, fungsionalisme, neo-fungsionalisme, dan regionalisme. Meskipun pendekatan ini sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini, tetapi hal ini rasanya masih sangat jauh dari realisasinya (dalam pandangan state-sentris/idealis), sebagaimana sekarang banyak teoritisi integrasi memfokuskan diri pada organisasi internasional dan bagaimana ia berubah dari sekedar alat menjadi struktur dalam negara.
Integrasi politik menunjuk pada sebuah
‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’ penyatuan politik di tingkat
global atau regional di antara unit-unit nasional yang terpisah. Hal ini
bukanlah sesuatu yang baru dalam peradaban manusia, sedangkan dalam
tingkat hubungan internasional ia menjadi ‘kesadaran baru’ dan
‘terminologi baru’ dan menjadi studi politik sistemik utama pada tahun
1950-an hinggga 60-an [Charles Pentland 1973. International Theory and
European Integration. London: Faber and Faber Ltd.]. Pentland
mendefinisikan integrasi politik internasional sebagai sebuah proses di
mana sekelompok masyarakat, yang pada awalnya diorganisasikan dalam dua
atau lebih negara bangsa yang mandiri, bersama-sama mengangkat sebuah
keseluruhan politik yang dalam beberapa pengertian dapat digambarkan
sebagai sebuah ‘community’.
Kesepakatan yang dibuat atas integrasi ini
adalah dalam kerangka penyatuan yang kooperatif bukan koersif.
Ambiguitas yang terjadi dalam pemaknaan ini adalah penggunaan istilah
proses ataukah hasil/end-product. Hal ini dapat diatasi oleh Lion
Lindberg [dalam Political Integration as a Multi dimensional Phenomenon
requiring Multivariate Measurement, Jurnal International Organization
edisi Musim Gugur, 1970] dengan berfikir “integrasi politik adalah
proses di mana bangsa-bangsa tidak lagi berhasrat dan mampu untuk
menyelenggarakan kunci politik domestik dan luar negeri secara mandiri
dari yang lain, malahan mencari keputusan bersama atau mendelegasikan
proses pembuatan kebijakan pada organ-organ kontrol baru.”
Konsep integrasi internasional/regional
berbeda dengan konsep serupa tentang internasionalisme/regionalisme,
kerjasama internasional/regional, organisasi internasional/regional,
gerakan internasional/regional, sistem internasional/regional, dll.
Integrasi menitikberatkan perhatiannya pada proses atau relationship, di
mana pemerintahan secara kooperatif bertalian bersama seiring dengan
perkembangan homogenitas kebudayaan, sensitivitas tingkah laku,
kebutuhan sosial ekonomi, dan interdependensi yang dibarengi dengan
penegakan institusi supranasional yang multidimensi demi memenuhi
kebutuhan bersama. Hasil akhirnya adalah kesatuan politik dari
negara-negara yang terpisah di tingkat global maupun regional [Tom
Travis, Usefulness of Four Theories of International Relations in
Understanding the emerging Order, Jurnal International Studies 31].
Dua Model dari End Product
Terdapatlah dua tipe dalam analisa integrative process, yaitu state model dan community model. Dalam terminologi institusional, model negara sangatlah spesifik, terutama bagi penulis Federalis, di mana konsensus integrasi haruslah konstitusional –pandangan yang kurang lebih sama terdapat pada kaum Neo-fungsionalis. Sedangkan model komunitas menitikberatkan pada proses yang terjadi dalam hubungan antara rakyat/penduduk negara, dengan sedikit keterlibatan state. Lembaga politik dipandang kurang signifikan ketimbang pertumbuhan common values, perceptions, dan habits. Hal ini didukung oleh kaum pluralis, fungsionalis. Dan kaum regionalis, berpandangan jika integrasi regional yang terjadi lebih terlembagakan, maka ia state model, jika kurang terlembaga, maka ia community model.
Terdapatlah dua tipe dalam analisa integrative process, yaitu state model dan community model. Dalam terminologi institusional, model negara sangatlah spesifik, terutama bagi penulis Federalis, di mana konsensus integrasi haruslah konstitusional –pandangan yang kurang lebih sama terdapat pada kaum Neo-fungsionalis. Sedangkan model komunitas menitikberatkan pada proses yang terjadi dalam hubungan antara rakyat/penduduk negara, dengan sedikit keterlibatan state. Lembaga politik dipandang kurang signifikan ketimbang pertumbuhan common values, perceptions, dan habits. Hal ini didukung oleh kaum pluralis, fungsionalis. Dan kaum regionalis, berpandangan jika integrasi regional yang terjadi lebih terlembagakan, maka ia state model, jika kurang terlembaga, maka ia community model.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Integrasi
Dalam menjelaskan proses perubahan menuju integrasi, tipe variabel mandirinya dapat dibedakan menjadi 3 faktor eksponensial. Pertama, variabel politico-security, yang level of analysis-nya ada pada negara, yang perhatian terhadap power, responsiveness, kontrol elit politik dalam kebiasaan politik publik umum dan dalam ancaman keamanan atas negara. Hal ini dilakukan oleh penulis Pluralis dan Federalis. Berbeda dengan kaum fungsionalis dan neo-fungsionalis yang menekankan pentingnya variabel sosial ekonomi, dan teknologi, yang secara tidak langsung membawa perubahan dan penyatuan politik. Faktor ketiga dipakai oleh kaum regionalis dalam analisanya, yaitu keberadaan kedua variabel tersebut dalam proses integrasi. Mudahnya digambarkan dalam tabel berikut:
Dalam menjelaskan proses perubahan menuju integrasi, tipe variabel mandirinya dapat dibedakan menjadi 3 faktor eksponensial. Pertama, variabel politico-security, yang level of analysis-nya ada pada negara, yang perhatian terhadap power, responsiveness, kontrol elit politik dalam kebiasaan politik publik umum dan dalam ancaman keamanan atas negara. Hal ini dilakukan oleh penulis Pluralis dan Federalis. Berbeda dengan kaum fungsionalis dan neo-fungsionalis yang menekankan pentingnya variabel sosial ekonomi, dan teknologi, yang secara tidak langsung membawa perubahan dan penyatuan politik. Faktor ketiga dipakai oleh kaum regionalis dalam analisanya, yaitu keberadaan kedua variabel tersebut dalam proses integrasi. Mudahnya digambarkan dalam tabel berikut:
Federalisme
Asumsi: Perang disebabkan oleh sistem negara bangsa yang anarkis. Transformasi menuju integrasi terjadi jika rakyat melihat keuntungan dalam mentransfer power dan loyalitasnya pada pemerintahan dunia. Pengopinian atas pengaturan dan pemerintahan umat manusia, adalah melalui jalur diskusi dan edukasi.
Asumsi: Perang disebabkan oleh sistem negara bangsa yang anarkis. Transformasi menuju integrasi terjadi jika rakyat melihat keuntungan dalam mentransfer power dan loyalitasnya pada pemerintahan dunia. Pengopinian atas pengaturan dan pemerintahan umat manusia, adalah melalui jalur diskusi dan edukasi.
Pendukung: Amitai Etzioni, Grenville Clark,
Louis B Sohn, Carl J Fiedrich, Edith Wynner, H Brugmans, P Duclos, W H
Riker, Stringfellow Barr.
Tujuannya adalah formasi grup negara yang berdaulat yang menyatukan identitas internasionalnya dalam entitas politik baru yang legal. Sementara jurisdiksinya dibagi, yaitu komplementer antara negara dan pemerintah federal, tetapi memiliki power yang mandiri. Menurut Etzioni, hasil akhirnya adalah sebuah komunitas politik yang memiliki tiga macam integrasi. (a) kontrol efektif atas kekuatan koersif (violence), (b) pemusatan pembuatan keputusan administratif atas unit-unit ekonomi, (c) dan identifikasi politik. Sedangkan Pentland meringkasnya menjadi, “integrasi bagi federallis adalah permasalahan high politics.
Tujuannya adalah formasi grup negara yang berdaulat yang menyatukan identitas internasionalnya dalam entitas politik baru yang legal. Sementara jurisdiksinya dibagi, yaitu komplementer antara negara dan pemerintah federal, tetapi memiliki power yang mandiri. Menurut Etzioni, hasil akhirnya adalah sebuah komunitas politik yang memiliki tiga macam integrasi. (a) kontrol efektif atas kekuatan koersif (violence), (b) pemusatan pembuatan keputusan administratif atas unit-unit ekonomi, (c) dan identifikasi politik. Sedangkan Pentland meringkasnya menjadi, “integrasi bagi federallis adalah permasalahan high politics.
Kritik: Inis L Claude, Jr dalam Swords into
Plowshares menyebutnya sebagai impractical, utopian dan unrealistic
serta didasari asumsi yang sangat naif. Adalah terlalu menyederhanakan
masalah untuk meyakini bahwa states bersedia menyerahkan kedaulatannya
atau sebagian darinya demi federasi dunia.
Pluralisme
Asumsi: Karl W Deutsch adalah salah seorang penggagas pluralisme, ia berasumsi pada adanya tendensi pada state untuk berintegrasi atau pun berkonflik dengan tetangganya dengan (basic) perhitungan, pendirian (opini) publik dan pola-pola tingkah lakunya. Konsepsi pluralis juga bersandar pada prioritas perdamaian internasional serta keamanan nasional, dan asosiasi politik dengan aksi diplomatik stategis. Asumsi lain yang tak kalah penting yaitu negara bangsa adalah pemusatan fakta atas kehidupan politik modern sekaligus fokus pusat dari seluruh analisa politik.
Asumsi: Karl W Deutsch adalah salah seorang penggagas pluralisme, ia berasumsi pada adanya tendensi pada state untuk berintegrasi atau pun berkonflik dengan tetangganya dengan (basic) perhitungan, pendirian (opini) publik dan pola-pola tingkah lakunya. Konsepsi pluralis juga bersandar pada prioritas perdamaian internasional serta keamanan nasional, dan asosiasi politik dengan aksi diplomatik stategis. Asumsi lain yang tak kalah penting yaitu negara bangsa adalah pemusatan fakta atas kehidupan politik modern sekaligus fokus pusat dari seluruh analisa politik.
Pentland menjelaskan, bahwa integrasi oleh
pluralis dipandang sebagai formasi dari sebuah ‘community of states’,
yang didefinisikan dengan sebuah level pertukaran diplomatik, ekonomi,
sosial dan budaya yang tinggi dan self-sustain di antara anggotanya.
Pendekatan ini sering disebut pula pendekatan komunikasi, yang mengukur
proses integrasi dengan mengamati aliran transaksi internasional,
seperti (perdagangan, turis, surat, dan imigran), yang pada akhirnya
membuat jalan bagi evolusi ‘komunitas keamanan’ (community of states)
atau integrasi sistem sosial politik.
Deutsch telah menyusun dua tipe komunitas
keamanan, yaitu tipe ‘amalgamasi’ (seperti USA) yang memiliki
karakteristik satu pemerintahan federal yang menjalankan pusat kontrol
politik atas sebuah kawasan seukuran benua; dan tipe ‘plural,’ yang
memiliki karakteristik kurangnya otoritas politik pusat, tetapi tiap
unit bangsa tidak berkelahi satu-sama lain dan tidak membentengi
perbatasannya. Couloumbis dan Wolfe juga menandaskan end product dari
dua tipe ini. Komunitas keamanan ini bukanlah interdependensi anggota
(sebagaimana dalam pandangan federalis/liberalis) tetapi lebih pada
kemauan anggotanya untuk berkontemplasi mengenai penyelesaian konflik
mereka jika saja dilakukan melalui jalan kekerasan. Dalam pandangan
perdamaian dan keamanan hubungan internasional kontemporer, tentunya
tipe pluralistik lebih relevan dan lebih mungkin diwujudkan sebagaimana
ia tidak begitu ambisius, serta tidak memakan dana yang besar.
Sementara itu politik digunakan dalam makna
diplomasi dan strategi kemanan serta preservasi kebijakan otonomik.
Singkatnya, tujuan integrasi politik bagi teoritisi pluralis adalah
sebuah sistem internasional negara-negara bangsa yang maju, tanpa
institusi pemerintahan bersama, tetapi pada saat yang sama
terkarakteristikkan oleh sebuah komunikasi dan ‘mutual responsiveness’
tingkat tinggi diantara anggotanya yang mengubah resolusi konflik
sebelumnya yang cenderung melalui kekerasan yang tak dapat dibayangkan
dalam (sehingga) masa depan yang dapat diramalkan. Untuk benar-benar
teintegrasi dalam pandangan pluralis, negara harus membentuk sebuah
‘komunitas.’ Oleh karenanya, perasaan akan kewajiban atas anggota yang
lain harus benar-benar berakar lebih kuat ketimbang hukum internasional
atau sumber-sumber tradisional kerelaan internasional (international
compliance).
Kritik: Pertama, meskipun metode dan
pendekatan yang dipakai seksama dan sophisticated, ia masih berdasarkan
personal judgment dan personal selectiveness yang tinggi, ini disebabkan
penjelasan dan prediksinya muncul dari beberapa asumsi yang tidak
selalu benar. Kedua, pola stablitas nasionalnya masih memiliki
kemungkinan di-reinforced dan diganggu oleh faktor yang tidak ada
hubungan langsungnya, semisal perubahan teknologi, atau pergantian
struktur power dalam sistem internasional global. Ketiga, asumsi bahwa
perubahan berasal dari sikap/pendirian publik dan pola tingkah laku
tidak sepenuhnya benar, mengingat dua variabel tersebut pada galibnya
mengikuti jalur yang ditentukan state leader/pemerintah sebagai
institusi legal. Keterlibatan dan pengaruh publik dalam kebijakan luar
negeri pun sangat minim. Keempat, fungsionalis dan neo-fungsionalis
mengkritik, bahwa definisi pluralis atas integrasi sangatlah minim,
dimana ia hanya meliputi preservasi perdamaian di antara bangsa-bangsa.
Jikalau alasan berperang adalah melewati batas bidang diplomasi dan
berada lebih dalam, yaitu dalam hal sumber-sumber kehidupan sosial
ekonomi, atau jikalau kesejahteraan atau social justice bernilai lebih
ketimbang perdamaian dan dan keamanan, maka tipe integrasi yang lebih
ambisius dan lebih luas jangkauannya sangatlah dibutuhkan. Akan tetapi
kritik ini ditujukan jikalau sistem internasional memang seperti ‘itu,’
akan tetapi pada kenyataannya, sistem internasional adalah seperti yang
diungkapkan pluralisme, sehingga kritik yang berasal dari logika
fungsionalis dan retorika federalis tidak akan terlalu membuat
perbedaan.
Fungsionalisme
Asumsi: Pertama, manusia cukup rasional untuk merespon kebutuhannya akan kerjasama jika itu membawanya pada keuntungan. Asumsi ini jelas sekali menciptakan banyak sekali permintaan akan human reason. Kedua, manusia memiliki sejumlah pengenalan alamiah, sehingga ia mampu menolak sesuatu hasil akhir dan memilih hasil akhir lain yang tetap mengakomodasi kebutuhan mereka. Pada akhirnya, manusia lebih memilih untuk tidak membunuh, ia lebih memilih perdamaian, hukum, dan keteraturan. Ketiga, perang disebabkan oleh kemiskinan, kesengsaraan, keputus-asaan, jika kondisi ini dapat dieliminasi, maka rangsangan untuk menguatkan militer akan surut. Oleh karenanya, Fungsionalis mendukung sebuah pendekatan bertahap atas kesatuan global yang didesain untuk mengisolasi dan pada akhirnya mengubah kekeraskepalaan negara bangsa yang telah usang. Keempat, kecemburuan atas kedaulatan dijumpai hanya dalam unit teritorial, dan tidak pada fungsional. Oleh karena itu, koordinasi perbanyakan agensi yang overlapping tidak sesulit mendamaikan negara-negara. Kelima, optimisme bahwa organisasi yang didesain untuk sebuah kebutuhan atau permasalahan spesifik akan hilang manakala kebutuhan tersebut terpenuhi.
Asumsi: Pertama, manusia cukup rasional untuk merespon kebutuhannya akan kerjasama jika itu membawanya pada keuntungan. Asumsi ini jelas sekali menciptakan banyak sekali permintaan akan human reason. Kedua, manusia memiliki sejumlah pengenalan alamiah, sehingga ia mampu menolak sesuatu hasil akhir dan memilih hasil akhir lain yang tetap mengakomodasi kebutuhan mereka. Pada akhirnya, manusia lebih memilih untuk tidak membunuh, ia lebih memilih perdamaian, hukum, dan keteraturan. Ketiga, perang disebabkan oleh kemiskinan, kesengsaraan, keputus-asaan, jika kondisi ini dapat dieliminasi, maka rangsangan untuk menguatkan militer akan surut. Oleh karenanya, Fungsionalis mendukung sebuah pendekatan bertahap atas kesatuan global yang didesain untuk mengisolasi dan pada akhirnya mengubah kekeraskepalaan negara bangsa yang telah usang. Keempat, kecemburuan atas kedaulatan dijumpai hanya dalam unit teritorial, dan tidak pada fungsional. Oleh karena itu, koordinasi perbanyakan agensi yang overlapping tidak sesulit mendamaikan negara-negara. Kelima, optimisme bahwa organisasi yang didesain untuk sebuah kebutuhan atau permasalahan spesifik akan hilang manakala kebutuhan tersebut terpenuhi.
Fungsionalisme adalah teori paling tua yang
membahas integrasi, dimana ia membangun ‘perdamaian dengan
potongan-potongan’ lewat organisasi transnasional yang fokus pada
kedaulatan bersama ketimbang menyerahkan kedaulatan masing-masing negara
pada sebuah institusi supranasional. Pendukung utamanya adalah, David
Mitrany, Leonard Woolf, Norman Angell, Robert Cecil, G.D.H. Cole, Jean
Monnet.
Kritik: Pertama, fungsionalis samar dalam
menjelaskan organisasi global sebagai end product. Mereka ambigu dalam
menjelaskan bagaimana ia akan terkoordinasi dengan states Kedua, menurut
Paul Taylor [International Cooperation Today.1971.
London: Elek Boos Ltd.], fungsionalisme belum mampu melakukan analisa
secara deskriptif sistemik. Ketiga, asumsi yang digunakan belum tepat
mengenai penyebab perang, apakah kemiskinan dan kesengsaraan yang
menyebabkan perang, atau justru perang yang menyebabkan kemiskinan dan
keputusasaan. Keempat, tidak memperhitungkan sifat alami manusia dalam
politik yang bisa saja baik dan mau bekerja sama, bisa juga buruk dan
egois. Kelima, Fungsionalisme tidak memperhitungkan waktu (ia terlalu
lamban), padahal jika menggunakan asumsi sosial-ekonomi, maka dalam era
hi-tech ini, masyarakat sangat membutuhkan solusi instan atas
permasalahan sosial ekonomi tersebut [Inis L Claude, Jr. 1971. Swords
into Plowshares. New York: Random House.]. Keenam, desakan
fungsionalisme untuk memisahkan aktivitas di bidang politik dan sosial
ekonomi adalah kesalahan, jika merujuk kenyataan yang ada bahwa paduan
keduanya malah membuat strategi yang bagus dalam perkembangan keduanya.
Akan tetapi dari semua kritik yang ada, kita harus ingat ini hanyalah
sekedar pendekatan, bukanlah obat mujarab, dan ia pula yang mendasari
perdamaian antara Jerman dan Perancis pasca tiga perang, serta
pembentukan PBB.
Neo Fungsionalisme
Ernst Haas sebagai penganut utama teori ini ingin memperbaiki fungsionalisme klasik agar lebih realistik dan penuh arti, agar relevan dan memiliki hubungan yang tertata dengan pendekatan teoritis lain dalam ilmu sosial, dan menciptakan proposisi yang teruji melalui bukti-bukti empiris sejarah integrasi Eropa.
Ernst Haas sebagai penganut utama teori ini ingin memperbaiki fungsionalisme klasik agar lebih realistik dan penuh arti, agar relevan dan memiliki hubungan yang tertata dengan pendekatan teoritis lain dalam ilmu sosial, dan menciptakan proposisi yang teruji melalui bukti-bukti empiris sejarah integrasi Eropa.
Asumsi yang digunakan, pertama adalah bahwa
kehidupan sosial didominasi oleh kompetisi antar kepentingan. Kedua,
adanya konsensus di mana kolompok-kelompok diajak untuk mengejar
kepentingannya melalui kerangka kerja yang mengharapkan proses
integrasi. Ketiga, keadaan psikologi elit dalam integrasi memuncak dalam
kemunculan sistem politik yang baru. Keempat, neofungsionalisme
mengutamakan faktor politik dalam proses penggabungan negara-negara
merdeka. Neofungsionalisme mengharap pencapaian masyarakat supranasional
dengan menekankan kerjasama di daerah yang secara politik
kontroversial. Teori ini memandang integrasi politik bukan suatu kondisi
tapi proses perubahan yang mengarah pada masyarakat politik.
Kritik terhadap neofungsionalisme karena
tujuan dari integrasi politik dalam teori ini meninggalkan sesuatu yang
tidak dapat dijelaskan, sehingga analisisnya perlu diperbaiki dan
diperluas (salah satunya, tidak ada pembedaan antara high dan low
politics sebagaimana dibedakan oleh Stanley Hoffman). Neofungsionalisme
ragu-ragu untuk meniru model dari negara supranasional. Selain itu,
kondisi wilayah yang berbeda yang masalah integrasinya berbeda
memerlukan model analisis yang berbeda pula. Sesuatu yang cocok di
wilayah Eropa timur bisa tidak sesuai dengan keadaan di wilayah lain.
Regionalisme
Terminologi ini digunakan untuk mengambarkan integrasi regional untuk memelihara keseragaman dengan sub aliran lainnya, seperti federalisme, pluralisme, fungsionalisme, dan neofungsionalisme. Kesuksesan teori integrasi di Eropa Barat menghasilkan kepercayaan bahwa transisi dari sistem negara menuju masyarakat global yang terintegrasi dapat menggunakan jalan integrasi regional. Teori ini mengasumsikan prospek yang lebih baik berkaitan dengan hal-hal politik dalam isu-isu perang dan damai, integrasi dan unifikasi.
Terminologi ini digunakan untuk mengambarkan integrasi regional untuk memelihara keseragaman dengan sub aliran lainnya, seperti federalisme, pluralisme, fungsionalisme, dan neofungsionalisme. Kesuksesan teori integrasi di Eropa Barat menghasilkan kepercayaan bahwa transisi dari sistem negara menuju masyarakat global yang terintegrasi dapat menggunakan jalan integrasi regional. Teori ini mengasumsikan prospek yang lebih baik berkaitan dengan hal-hal politik dalam isu-isu perang dan damai, integrasi dan unifikasi.
Kesamaan budaya, ekonomi, politik, ideologi,
dan geografis dalam suatu wilayah diasumsikan dapat memunculkan
organisasi yang lebih efektif. Organisasi regional telah siap untuk
bekerjasama, dan pengalaman organisasi regional yang sukses akan
mempengaruhi dan mendorong ke arah integrasi yang lebih jauh.
Regionalisme dapat menghasilkan “model masyarakat” atau “model negara.”
Bentuk regionalisme dapat dibedakan berdasarkan kriteria geografis,
militer/politik, ekonomi, atau transaksional, bahasa, agama, kebudayaan,
dll. Tujuan utama dari organisasi regional adalah untuk menciptakan
perjanjian perdamaian dan kerjasama yang saling menguntungkan di
berbagai aspek dan penguatan area saling ketergantungan pada
negara-negara superpower.
Organisasi regional paska Perang Dunia II terdiri dari tiga tipe yaitu:
1. Organisasi regional gabungan. Dibentuk dari banyak tujuan dan melakukan banyak aktivitas. Contoh : OAS, OAU, Liga Arab, dll.
2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh: SEATO, NATO, Pakta Warsawa, dll.
3. Organisasi fungsional regional. Bekerja dengan pendekatan fungsional terhadap Integrasi regional. Contoh: OPEC, ASEAN, NAFTA, dll.
Tren ke arah regionalisme terus berlangsung. Pada tahun 1990-an negara-negara di seluruh dunia telah membentuk perjanjian perdagangan regional (RTAs) seperti yang telah terjadi di negara- negara Eropa, Afrika, Asia Timur, Timur Tengah, dan negara-negara di belahan bumi bagian barat. Hal ini menunjukkan perkembangan regionalisme terus berlanjut.
2. Organisasi pertahanan regional. Sebagai organisasi militer antar negara dalam satu wilayah tertentu. Contoh: SEATO, NATO, Pakta Warsawa, dll.
3. Organisasi fungsional regional. Bekerja dengan pendekatan fungsional terhadap Integrasi regional. Contoh: OPEC, ASEAN, NAFTA, dll.
Tren ke arah regionalisme terus berlangsung. Pada tahun 1990-an negara-negara di seluruh dunia telah membentuk perjanjian perdagangan regional (RTAs) seperti yang telah terjadi di negara- negara Eropa, Afrika, Asia Timur, Timur Tengah, dan negara-negara di belahan bumi bagian barat. Hal ini menunjukkan perkembangan regionalisme terus berlanjut.
Kritik terhadap regionalisme biasanya
ditujukan dalam hubungannya dengan perdamaian dan keamanan
internasional. Regionalisme dituduh telah merusak hubungan internasional
di mana tiap-tiap unit regional merupakan bagian dari dunia. Selain
itu, organisasi regional seringkali mengingkari keberadaan PBB untuk
menyelesaikan masalah penting dengan berusaha menyelesaikan sendiri
masalah tersebut tanpa meminta bantuan PBB. Walaupun demikian, adanya
kepercayaan bahwa perjanjian regional dan organisasi dunia akan terus
ada, dan berdampingan dalam usahanya untuk menciptakan perdamaian. Teori
integrasi percaya bahwa pertumbuhan organisasi regional akan membantu
dalam menyatukan negara. Pertama-tama, di tingkat regional dan kemudian
di tingkat global. Secara sederhana, kritik realis percaya bahwa teori
ini secara ideal menghilangkan harapan dan keinginan mereka dalam
realita dan salah mengartikan kebiasaan internasional. Tidak ada jaminan
bahwa tren ke arah integrasi tidak akan berbalik menyerang kaum realis.
SUMBER : Click
0 komentar:
Posting Komentar